Selasa, 02 Juni 2015

SMS Ria

Hen, njaluk alamat omahmu (Hen, aku minta alamat rumahmu).
Begitu isi sms yang barusan aku baca. Nomornya tidak tercantum di kontak ponselku. Tapi melihat dari bahasa SMSnya, sepertinya ini teman lama. Siapa? Aku belum tau. Tapi dari nomornya, sepertinya familiar. Akhirnya aku mengambil buku kontakku. Aku selalu menyimpan nomor semua temanku di sana. Jaga-jaga jika kontak di ponselku terhapus atau hilang. Satu-persatu nomor aku cocokkan dengan pengirim sms tadi. Sampai akhirnya aku mendapatkan satu nama. Ria, temanku semasa SD dulu. Ria yang rumahnya paling dekat dengan sekolah. Ria yang..........cantik itu.
Seketika pikiranku melayang ke masa-masa SD ketika aku dan Ria masih menjadi sahabat. 6 tahun bersama dan selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik di kelas membuat aku dan Ria berteman akrab. Ria anak yang rajin, aktif, dan mudah bergaul dengan anak lain. Dia cukup pintar di kelas, tapi bukan yang paling pintar. Namun keaktifan dia membuat Ria menjadi murid favorit guru-guru SDN Sidotopo II. Sedangkan aku, aku juga murid favorit guru, karena aku tidak pernah absen menjadi Juara Kelas semenjak kelas 1 SD. Namun berbeda dengan Ria, aku anak yang pendiam.
Lamunanku buyar setelah ponselku kembali berdering dengan nyaring, tanda ada SMS masuk. SMS yang sama dari nomor yang sama. “Oh iya, lupa belum aku balas” pikirku dalam hati. Tetapi kali ini aku membaca SMS itu dengan perasaan yang berbeda dengan SMS yang pertama. Kali ini aku sadar akan dua hal. SMS itu adalah awal dari suatu berita besar dan akhir dari cerita cinta monyet masa SD ku.
Ria adalah cinta monyetku. Dia adalah anak pertama yang mengajakku berkenalan saat hari pertama masuk sekolah kelas 1. Waktu itu aku masih ditemani Mama dan Ria kecil datang menghampiriku dan mengajakku berkenalan. Dari semua anak, aku yang dipilihnya untuk diajak berkenalan. Aku yang gendut dan jelek ini, yang mungkin cuma Mama yang menganggapku ganteng. Berbeda dengan Ria, yang hampir semua mama-mama yang hadir hari itu memanggilnya Cantik. Termasuk Mamaku.
Jalan Sidotopo Jaya IIA no. 23.” Aku mulai mengetik balasan untuk SMS dari Ria. Tidak lama lagi, pikirku, bakalan ada Pak Pos datang ke rumah. Perasaan ini bercampur aduk. Tapi yang paling terasa adalah, aku ikut bahagia jika sampai ada undangan datang ke rumah. Bahagia, karena dalam waktu dekat aku akan bertemu lagi dengan sahabat sekaligus cinta monyetku ini setelah hampir lebih dari 10 tahun sudah tidak pernah bertemu.
Aku mengirimkan balasan untuk SMS dari Ria sambil bertanya-tanya. Apakah semudah itu rumahku dilupakan? Padahal dulu dia sering main ke sini. Bahkan ketika aku kecelakaan waktu kelas 3 SD dan kakiku patah, hampir setiap minggu dia kemari selama 3 bulan hanya untuk memberiku catatannya untuk disalin. Saat aku menyalin catatannya, biasanya dia sibuk mencorat-coret perban di kakiku dengan berbagai macam gambar dan tulisan. Dan Mama akan dengan senang hati mengajaknya ngobrol tentang berbagai macam hal, sebagian besar tentang masa kecilku. Mamaku memang sangat akrab dengannya sebelum akhirnya kita lulus SD dan Ria pindah dari Sidotopo. Semenjak saat itu pula, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya.
TING TONG! TING TONG! TING TONG! TING TONG!
Lamunanku buyar lagi. Kali ini aku mendengar suara yang sudah lama tidak pernah aku dengar. Suara cempreng khas yang sangat familiar di telingaku, mengucapkan 4 kata yang dari pertama kali aku mendengarnya, tidak pernah berubah sama sekali.
“Assalamualaikum Tante, Hendranya ada?”